Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sebuah Seni Untuk Bersikap Masa Bodoh









Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan, kemampuan untuk memilih secara bijak terhadap hal-hal yang layak dipedulikan merupakan keterampilan emosional yang sangat penting. Sayangnya, banyak individu terjebak dalam siklus kepedulian yang berlebihan terhadap hal-hal remeh yang justru menguras energi mental. Di sinilah muncul gagasan mengenai seni bersikap masa bodoh—yakni kemampuan untuk bersikap acuh secara selektif, demi menjaga ketenangan batin dan fokus hidup. Jika kebanyakan orang membayangkan mentalitas bodoh ini, bayangkan semacam hal yang tidak diobati yang belum terpengaruh. Mereka ingin menjadi seseorang yang membayangkan, menjengkelkan, dan tidak membuat seseorang marah karena memiliki nama untuk seseorang yang tidak memiliki perasaan atau pengertian ... apa artinya itu?

1. Bersikap masa bodoh tidaklah identik dengan sikap acuh tak acuh; sebaliknya, sikap tersebut mencerminkan kenyamanan dalam menerima perbedaan dan keberanian untuk tetap autentik meskipun tidak sesuai dengan arus utama.




Untuk memperjelas, perlu ditegaskan bahwa tidak sepatutnya memberikan pujian maupun persetujuan dalam konteks yang didominasi oleh sikap acuh tak acuh. Individu yang menunjukkan sikap demikian cenderung mengalami degradasi dalam hal karakter. Kelompok ini kerap dikaitkan dengan istilah seperti “pemalas digital” atau "nosman", yang mencerminkan kecenderungan untuk mengabaikan perawatan diri, bahkan dalam hal-hal mendasar seperti kebersihan pribadi atau penampilan. Mereka lebih banyak terjebak dalam kekhawatiran terhadap pandangan mereka sendiri, dan sering kali berlindung di balik ironi serta kritik destruktif sebagai mekanisme pertahanan diri. Sikap ini menunjukkan adanya ketakutan untuk terlibat secara langsung, sekaligus membentuk citra diri sebagai individu yang unik dan penuh permasalahan yang, menurut mereka, tidak dapat dipahami oleh orang lain.

2. Untuk dapat bersikap tidak terganggu oleh suatu kesulitan, seseorang terlebih dahulu harus memiliki kepedulian yang mendalam terhadap hal lain yang dianggap lebih bermakna dan esensial dibandingkan kesulitan tersebut.

Bayangkan seseorang berada di sebuah toko bahan makanan dan menyaksikan seorang wanita lanjut usia meluapkan kemarahan kepada kasir hanya karena kupon senilai tiga sen ditolak. Sekilas, reaksi tersebut tampak berlebihan—namun sebenarnya, hal itu bisa mencerminkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Mungkin wanita tersebut menjalani hari-harinya dalam kesendirian, tanpa aktivitas berarti selain mengumpulkan kupon. Hubungan sosialnya minim, anak-anaknya tak pernah menjenguk, dan hidupnya perlahan merosot dalam keterasingan dan penyesalan. Maka, kupon-kupon itu menjadi simbol kecil dari hal yang masih bisa ia kontrol, sesuatu yang masih ia miliki.

Ketika akhirnya kupon itu ditolak oleh kasir muda yang tampak acuh, akumulasi rasa kecewa dan keterasingan selama bertahun-tahun pun meledak dalam bentuk kemarahan. Ungkapan seperti "Dulu tidak seperti ini" atau "Orang-orang dulu lebih sopan" menjadi wujud frustrasi terhadap perubahan zaman dan kehilangan nilai yang ia pegang.

Fenomena ini mencerminkan kenyataan bahwa sebagian orang memberikan perhatian berlebih terhadap hal-hal remeh karena mereka tidak memiliki sesuatu yang lebih besar dan bermakna untuk dijadikan fokus. Ketika perhatian kita terus-menerus tercurah pada hal-hal kecil yang menjengkelkan—seperti baterai remot yang cepat habis atau kehilangan promo hand sanitizer—itu mungkin merupakan cerminan dari ketiadaan tujuan hidup yang bermakna.

Oleh karena itu, menemukan sesuatu yang penting dan bernilai dalam hidup merupakan salah satu cara paling efektif dalam memanfaatkan waktu, energi, dan perhatian secara produktif. Tanpa adanya makna yang lebih besar, kita cenderung membiarkan diri larut dalam hal-hal sepele yang sesungguhnya tidak layak menjadi pusat perhatian.

3. Selalu memilih sesuatu hal untuk diperhatikan

Secara naluriah, manusia cenderung memiliki kepedulian terhadap berbagai hal, bahkan terhadap hal-hal yang tampak sepele. Sebagai contoh, seorang anak kecil dapat menangis hanya karena warna pada topinya tidak sesuai dengan harapannya. Pada masa kanak-kanak, segala sesuatu terasa baru, menarik, dan memiliki makna yang kuat. Oleh karena itu, anak-anak cenderung memberikan perhatian pada hampir setiap hal di sekelilingnya.

Namun, seiring bertambahnya usia dan bertambahnya pengalaman, kita mulai memahami bahwa tidak semua hal layak mendapatkan perhatian dan energi emosional. Kesadaran ini tumbuh dari pengalaman hidup, termasuk dari waktu yang telah terbuang sia-sia karena terlalu peduli pada hal-hal yang tidak esensial. Dalam konteks ini, kedewasaan dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk menyaring dan memilih secara bijak hal-hal yang benar-benar pantas untuk dipedulikan—yakni yang memiliki nilai dan makna lebih dalam dalam kehidupan.

Selanjutnya, saat seseorang memasuki usia paruh baya, terjadi transformasi yang lebih mendalam. Energi fisik mulai menurun, dan dalam banyak kasus, individu mulai menerima keterbatasan tersebut dengan sikap yang lebih tenang dan bijaksana—termasuk menerima aspek-aspek kehidupan yang mungkin tidak selalu membanggakan. Proses ini merupakan bagian dari perjalanan eksistensial yang menandai pertumbuhan emosional dan spiritual seseorang.

4. Kedewasaan sebagai Proses Seleksi Emosional

Seiring dengan bertambahnya usia, individu umumnya mulai memahami bahwa tidak semua persoalan layak mendapatkan perhatian dan energi emosional. Kedewasaan ditandai dengan kemampuan untuk memilah secara sadar antara hal-hal yang relevan dengan nilai dan tujuan hidup, serta hal-hal yang sepatutnya diabaikan. Dalam konteks ini, kedewasaan mencerminkan kematangan emosional, yaitu ketika seseorang mampu bersikap acuh terhadap persoalan yang tidak memiliki makna personal yang signifikan, dan sebaliknya, memfokuskan perhatian pada aspek-aspek kehidupan yang memiliki nilai dan makna yang lebih mendalam.

5. Ironi Kehidupan: Ketika Hal Remeh Menjadi Segalanya


Tidak jarang individu yang kehilangan arah atau makna dalam hidup justru menunjukkan kepedulian yang berlebihan terhadap hal-hal kecil yang sebenarnya tidak signifikan. Sebagai ilustrasi, seorang wanita lanjut usia yang meluapkan kemarahan karena kupon diskonnya ditolak, kemungkinan besar tidak semata-mata marah atas nilai kupon tersebut, melainkan karena kupon itu merepresentasikan satu-satunya hal yang masih dapat ia kendalikan dan maknai dalam kesehariannya yang penuh kesendirian. Dalam situasi ketika seseorang tidak memiliki fokus atau tujuan yang lebih besar dalam hidupnya, maka hal-hal kecil dapat mengambil alih peran tersebut dan menjadi pusat dari seluruh perhatian dan emosi yang dimiliki

6. Menemukan Makna: Kunci untuk Bersikap Masa Bodoh secara Bijak

Kemampuan untuk bersikap acuh secara selektif bukanlah bentuk dari apatisme, melainkan cerminan keberanian untuk memusatkan perhatian secara sadar pada hal-hal yang memiliki nilai dan makna mendalam. Untuk dapat mengabaikan suatu kesulitan secara bijak, seseorang terlebih dahulu harus memiliki tujuan atau kepentingan yang lebih besar yang layak untuk diperjuangkan. Kehadiran makna dalam kehidupan berperan sebagai penuntun dalam pengambilan sikap, sehingga individu tidak mudah terjebak dalam kekhawatiran yang berlebihan terhadap hal-hal sepele yang justru dapat menguras energi emosional secara tidak produktif.

Penutup

Seni untuk bersikap masa bodoh adalah keterampilan hidup yang perlu diasah seiring waktu. Ia mencerminkan kedewasaan emosional dan kematangan dalam menyikapi kompleksitas hidup. Dalam dunia yang penuh gangguan dan ekspektasi sosial, memilih untuk tidak peduli terhadap hal yang tidak penting justru bisa menjadi bentuk kepedulian tertinggi terhadap diri sendiri dan makna hidup yang lebih besar.


Posting Komentar untuk "Sebuah Seni Untuk Bersikap Masa Bodoh"